Ini terjadi di sekolah kami. Taman kanak kanak. Ori, bukan nama sebenarnya. Aktif, kreatif dan menonjol. Bermain, bergaul dengan sebayanya. Ceria. Sewaktu di kelas A. Selama setahun. Tiba tiba semua berubah. Waktu naik kelas B. Ogah ogahan. Malas gerak. Bengong. Mulai jarang masuk.
Pendekatan guru pada orangtua. Mereka bilang tidak ada apa apa. Jawaban meragukan. Para guru merasa ada yang disembunyikan. Ternyata benar. Makin parah beberapa minggu absen. Operasi mata. Diagnosa dokter radiasi hape. Dampak kecanduan cellphone. Kata orangtuanya dibelikan agar tidak menggangu waktu mereka.
Apakah anak sampean begitu, dulur ? Mungkin belum. Semoga tidak. Sebab ini mulai menjadi fenomena umum. Pertimbangan dan keputusan keliru. Kita semua orangtua. Tidak mau “diganggu” anak. Alasan sibuk. Tak punya waktu mendampingi. Mempercayakan dunia maya mengasuh anak anak.
Sudahlah. Kurang bijak membohongi diri. Atas nama hak anak. Membiarkan anak berselancar di medan dewasa. Tanpa bimbingan. Atas nama kreatifitas anak. Sebab sejatinya kita sedang membahayakan mereka. Menjerumuskan mereka.
Lihatlah dampaknya. Tak perlu menjadi psikolog atau pakar untuk merasakannya. Anak begitu keranjingan pada hape. Terobsesi oleh game dan film. Pagi, siang malam. Bangun tidur, mau tidur. Balita sampai remaja. Minim interaksi riil antar mereka. Imajinasinya semu.
Jika tidak kreatif, para guru akan kesulitan mendapat perhatian di sekolah. Jika tidak komunikatif, para orangtua akan sulit memperoleh chemistry keluarga. Anak cenderung a-sosial. Lambat merespon panggilan. Nilai keluarga dan masyarakat asing bagi mereka. Orangtua tak punya waktu mewariskannya.
Biasanya ada tiga jenis yang diakses anak anak. Game, channel gaya hidup, film. Permainan on line rata rata mengajarkan kekerasan. Otak anak jadi rusak. Makin banyak membunuh makin senang. Melihat darah muncrat bersorak. Puas bila tubuh lawan remuk, kepala terpenggal.
Ya. Kitalah yang mendorong mereka. Ke lubang yang kita pernah terjerumus. Ke jurang teman mereka yang sudah terperosok. Lebih dalam dari kita dulu. Tak heran kasus kekerasan dan bullying merebak. Di sekolah dan dunia anak. Melecehkan guru. Prestasi menurun.
Channel gaya hidup para youtuber. Sedikit yang mendidik. Kebanyakan mendorong style hedonisme. Penghambaan materialisme. Entah mereka sadar atau tidak. Mereka ditonton anak anak. Orangtua yang kena batunya. Merengek, memaksa, ngambek. Minta difasilitasi agar bisa bergaya seperti idolanya.
Film agak lumayan mulai ada filter. Situs situs terlarang dibatasi. Namun, maling kerap lebih pinter dari security. Ada saja aplikasi untuk membobolnya. Apalagi medsos memungkinkan saling berbagi. Konten porno sampai judi online. Anak anak ada dalam pusaran itu.
Sebut saja Kurdi, 11 tahun. Masih SD, masa depan masih panjang. Harusnya. Faktanya tidak. Ditemukan gantung diri. Di dapur rumahnya. Amarah dan kecewa tingkat dewa. Pada orangtua. Dilampiaskan dengan mengakhiri hidupnya. Na’udibillahi min dzalik.
Itu kesimpulan sementara pihak berwajib. Kurdi bunuh diri sebab kecanduan game online. Detik demi detik. Jam demi jam. Tangan, mata dan pikiran fokus di layar hape. Tak bisa tanpa hape. Suatu hari hapenya disembunyikan orangtuanya. Marah. Bunuh diri.
Siapa yang salah ? Orangtua ? Bisa iya bisa tidak. Anaknya ? Bisa keduanya. Kita sebagai orangtua cenderung memanjakan anak. Alasan sayang membebaskan anak bermain tanpa bimbingan. Tanpa batasan. Nir aturan. Paling simpel, yang penting senang.
Untuk kasus Kurdi, kita mesti hati hati. JIka sebelumnya Kurdi mendapatkan hape pemberian orangtua. Bebas tanpa embel embel aturan pemakaian. Pun tak ada peringatan sebelumnya. Tiba tiba hape diambil begitu saja. Orangtua layak dipertanyakan langkahnya.
Sebaliknya, bila orangtua memberinya hape. Melalui kesepakatan aturan. Kerap kali diperingatkan. Masih membandel. Berakhir dengan diambil paksa dan disembunyikan. Tentu kenekatan Kurdi patut disesalkan. Meski orangtua tetap wajib mengambil sepotong tanggungjawab.
Dulur, jangan diam. Anak anak kita itu masa depan. Kurdi dan Ori hanyalah puncak gunung es. Ada kuantitas dan kualitas kerusakan yang lebih besar. Ribuan bahkan mungkin jutaan “calon Kurdi Ori” lain. Yang sebenarnya masih bisa kita selamatkan. Segera.
Dulur, ada satu kaidah ushul yang cocok. Dar’ul mafaasid muqoddamun alaa jalbil mashoolih. Menghindari hal hal negatif lebih diutamakan daripada mendapatkan manfaat. Hape punya manfaat, juga ada sisi bejat. Untuk anak anak, menghindari dampak negatif diutamakan daripada mengambil manfaatnya.
Sentuhkan anak dengan dunia nyata. Panca indera. Jauhkan atau setidaknya kurangi dunia maya. Saya pernah mencobanya. Pada anak saya. Usia TK. Hampir kecanduan. Kerap uring uringan bila tak pegang hape. Saya ajak dia bicara. Plus minus hape. Dalam bahasa kanak kanak.
Saya tunjukkan beberapa video dampak negatifnya. Lalu membuat kesepakatan. Awalnya tetap hapean tapi dibatasi dua kali sehari. 15 menit saja. Beberapa minggu interval diturunkan. Sehari sekali. 15 menit. Bersyukur dia minta sepeda. Saya belikan setelah dia lulus ngaji. Interval hapean makin turun.
Alhamdulillah di depan pondok kami ada sawah padi. Meski di tengah kota. Milik Pak Made. Dirawat oleh Pak Nyoman. Sebelum ditanami selalu berlumpur. Kadang sepedanya masuk sawah. Saya mendorongnya sekalian nyebur. “Kotor nanti, Bi”. “Gapapa. Ayo sana main lumpur”. Kadang kotor itu baik.
Lebih baik kotor baju dan badan, daripada kotor hati dan pikiran. Ainsi, les petits tracas de sante habituels pourront etre rapidement traites. asgg.fr/ Dahulukan mengenalkan mereka adab dan karakter. Baru kemudian pengetahuan dan teknologi. Utamakan mereka bergaul dengan teman teman nyata. Lalu dampingi mereka berselancar di dunia maya.
Salam Kamis Optimis. Bismillah