• Alias
    Ibu Guru Masyrifah

  • Agama
    Islam

  • Tempat Tgl Lahir
    Lamongan, 17 Agustus 1940

  • Warga Negara
    Indonesia

  • Ayah
    H. Rois

  • Ibu
    Hj. Suci

  • Profesi
    Ketua Pembina Yayasan SPMAA

Biografi



Seorang wanita perkasa di jaman ini. Beliau menyabung nyawa untuk proses kelahiran  sepuluh putra-putrinya. Dari sentuhan kasih perjuangannya bersama sang suami sejak 1961, telah mentas ribuan anak dan keluarga yang bermasalah secara sosial kemudian dirawat, dibesarkan, dididik, dan dimandirikan sebagai manusia seutuhnya.

Kini di komplek asrama pesantren yang sahaja, beliau mukim bersama lima ratusan santri dari usia balita hingga lanjut usia. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia dengan beragam masalah sosial yang menimpa: anak telantar, para janda, korban kekerasan rumah tangga, eks napi, survivor traumatis, gelandangan psikotik, penyandang cacat, fakir miskin, dan lanjut usia terasing dari keluarganya.


Mereka semua yang masuk kategori 8 asnaf itu diasuh oleh Ibu Guru Hj. Masyrifah dengan pendidikan dan kasih kekeluargaan sebagaimana beliau menyayangi putera-puteri sendiri. Semua pelayanan tanpa memungut pembiayaan.


Karier
Ketua Panti Assuhan PANCASILA : tahun 1978-
Bendahara Yayasan SPMAA : tahun 1978-1997
Anggota Pembina Yayasan : tahun 1978-2006
Ketua Pembina : tahun 2006-sekarang
Ketua Pembina SANTANA
Menjadi tenaga lapangan TKP di daerah ; Aceh : tahun 2005, Laren-Lamongan : tahun 2007, Jogja : tahun 2010, Banjarnegara : tahun 2016, Bali : tahun 2017, NTB : tahun 2018, Pasuruan : tahun 2021.

Kehidupan Pribadi
Sejak kecil Ibu Guru Hj. Masyrifah mengajari putera-puterinya indahnya berbagi dan keniscayaan sebuah pengorbanan dalam meraih derajat kebaikan. Pada saat putra beliau yang ke-9 duduk di bangku Sekolah Dasar kelas satu, saat itulah beliau dimadu dengan Umi Nuriyati. Tepatnya pada tahun 1985.

Ibu Guru Hj. Masyrifah bercerita bahwa beliau yang mengambil inisiatif keputusan bermadu itu. Beliau ingin meringankan tugasnya sebagai ibu dan isteri yang harus selalu kuat mendampingi suami. Caranya dengan merelakan kedudukannya dibagi bersama isteri yang lain.

Ibu Gru Hj. Masyrifah sekaligus mendidik putera-puterinya sejak dini tentang keikhlasan memberikan sesuatu yang paling kita cintai demi perjuangan agama dan meraih ridhoNYA. “Aku ingin meniru sifat dewasa Ibu Sarah yang dengan ikhlas melamar Hajar untuk berbagi cinta sejati bersama Ibrahim kekasih ilahi,” kata beliau.

Seringkali Ibu Guru Hj. Masyrifah ditinggal pergi tugas oleh Bapak Guru MA. Muchtar dalam rentang yang lama. Dengan bersemangat dan tanpa mengeluh, Ibu Guru Hj. Masyrifah membesarkan putera-puterinya semua. Terutama saat awal-awal perjuangan, Bapak Guru Muchtar  sempat diamankan selama empat bulan dalam tahanan karena fitnahan oknum tokoh agama yang hasud. Selama Bapak Guru ditahan itu, Ibu Guru Hj. Masyrifah hanya ditemani seorang mbah lansia wanita yang kini telah tiada. Teror, intimidasi, makian, hingga ancaman pembunuhan menjadi menu ibuku sehari-hari.

Ditekan keadaan dan resistensi yang demikian, Ibuku senantiasa memotivasi dirinya dengan tangis penghiburan, “Aku belum tentu bisa setegar Hajar yang ditinggal sendirian di tengah padang pasir bersama si kecil Ismail. Sedangkan aku masih punya kawan berbagi di sini.” Beliau meneladani Ibu Hajar dalam kesetiaan bersuami, kesabaran ber-survival, keterampilan parenting skill sekaligus pelopor single parent. Ibuku setegar Hajar, Ibuku Masyrifah.

Kami ingin membangunkan rumah untuk tempat istirahat yang layak, tapi ibuku menolak. Beliau lebih memilih tinggal di perumahan komplek asrama yang mulai lapuk dimakan usia. Buat ibuku, itu sudah jauh melebihi standar perumahan Ibu Khadijah r.a., ummul mukminin ibu ideologis dan teladan kita semua.

“Ibu Sayyidah Khadijah hingga wafat menghuni tenda pengungsian yang darurat. Jika aku menempati rumah melebihi Ibu Khadijah itu, bagaimana tuntutanku nanti di akhirat?. Cukuplah doaku seperti doa Ibu Asiyah yang minta dibangunkan rumah surga disisiNYA,” kata beliau. Aku menangis haru mendengar penuturannya. Ibuku sesahaja Khadijah, sesederhana Asiyah, Ibuku Masyrifah.

Tentang pengorbanan dan konsistensi perjuangan, ibuku selalu mendongengi kami dengan epos kepahlawanan Ibu Masyitah. Dengan iringan lagu “Tukang Suri” yang nggegirisi ati, beliau ingin kami sekeluarga bersama-sama berjuang hingga wafat jelang kemenangan tiba, yakni di akhirat nanti. Lirik patriotik itu masih terngiang di telinga kami. “Ibu Masyitah pahlawan puteri. Mbelo agomo direwangi mati…” Ibuku biasa menyanyikan lagu itu sambil membelai rambut kami dengan linang air mata doa. Kami pun ikut menangis teringatnya.

Saat kami semua merasa letih lahir batin karena beratnya perjuangan, ibuku selalu menguati, “Nak, kita ini belum apa-apa dibanding kisah Ibu Masyitah yang menceburkan diri dalam panas air belanga bersama keluarganya demi konsistensi beragama.” ujar beliau. Ibuku setabah Masyitah, Ibuku Masyrifah.

April 2005, ibuku berangkat ke Aceh menyusul kelima puteranya yang bekerja sebagai relawan. Selama satu bulan, ibuku berkeliling Banda Aceh, Calang, Meulaboh, Nagan Raya hingga Aceh Utara. Membagi bantuan, menghibur para janda, menguati mental mbah-mbah lansia, menginap di tenda pengungsian bersama anak-anak dan wanita.

Di 19 jam perjalanan laut antara Banda Aceh Meulaboh, hari itu 16 April. Sambil berpegangan di bibir perahu motor yang kecil, beliau berkata lirih, “Gus, hari ini ulang tahun pernikahanku dengan Abi.” Ibu mengenang tersenyum, sementara aku menangis terkagum.

Lalu ibuku melanjutkan, “Aku belum apa-apa dibanding Ibu Maria. Beliau (yang dipanggi Bunda Maria oleh saudara kita dari Nasrani), pernah bersama Nabi Isa hanya makan daun-daunan selama berhari-hari di Gunung Lebanon. Tak ada yang dimakan, tak ada teman atau keluarga yang menguati perjuangan. Sementara aku di tengah ombak laut ganas ini, meski jauh dari suami, tapi masih ada sampeyan anakku yang menemani dan kita sehat berkecukupan. Ibu Mariam sendiri tanpa suami membesarkan Nabi Isa, sedang aku punya suami tercinta saat mengasuh sampean semua.” Aku menangis bersyukur mendengarnya. Ibuku sekhusyuk Maria, Ibuku Masyrifah.

Menu makanan ibuku seragam seperti anak-anak asuh di asrama. Nasi, kuah, dan lauk seadanya. Karena kami semua masak dari dapur umum yang sama. Bermaksud ingin menyehatkan dan menggembirakan ibuku, kami sering hendak masak tambahan menu seperti buah, kerupuk dan susu.

Tapi dengan lembut beliau mengingatkan, “Sudahlah cukup ini saja. Ini lebih dari menu makanan Ibu Fatimah sekeluarga. Ibu Fatimah biasa makan sebutir kurma dan segelas air saja. Malah pernah tiga hari tiga malam kelaparan karena tidak ada yang dimakan. Apakah kita tidak dosa jika makan melebihi menu puteri Rasulullah itu?,” Kami pun tersadar dan belajar. Ibuku seneriman Fatimah, Ibuku Masyrifah.

Dalam kecerdasan, ibuku luar biasa. Saat mengumpulkan bahan presentasi atau mencari referensi ayat-ayat suci, ibukulah termpat bertanya. Kami sekeluarga sepakat menjuluki “Ensiklopedi Kitab Suci” untuk beliau. Untuk hal ini, ibuku memotivasi kami, “Ayolah kita cerdas dan berilmu manfaat sebagaimana Ibu Aisyah. Sejak belia semangat belajarnya luar biasa. Ibu Aisyah yang cantik dan terlahir dari keluarga bangsawan rela jadi jelata berjuang bersama Rasulullah demi pencerdasan umatnya.” Ibuku secerdas Aisyah, Ibuku Masyrifah.

Ibuku sangat kuat fisiknya. Beliau telah berkeliling Indonesia menyambangi santri-santri yang pernah diasuhnya. Setiap ada kabar bencana, beliau langsung ikut turun membantu ke lokasi dan sering menginap bersama pengungsi selama berhari-hari. Dalam kesibukan 24 jam, beliau masih istiqomah dengan disiplin pengamalan ibadah. Selain sholat fardlu 5 waktu, sholat sunnat tak pernah terlewat.

Dalam sujud sholat tahajjud dan setiap doa pagi dhuha, ibuku selalu menyebut nama-nama keluarga semua. Agar kam
i anak-anaknya selalu sehat, kuat, penuh rahmat, diberi syafaat Allah dan Rasulullah Muhammad dunia akhirat. Ibuku mencintai Rabb-NYA, sebagaimana Rabiah yang gandrung kepada TuhanNYA. Ibuku sezuhud Rabiah, Ibuku Masyrifah.

Kisah-kisah wanita perkasa di jamannya selalu menjadi inspirasi penyemangat ibuku. Kedewasaan Sarah, ketegaran Hajar, kesetiaan Asiyah, konsistensi Masyitah, ketabahan Maria, kesahajaan Khadijah, kesabaran Fatimah, kecerdasan Aisyah, kezuhudan Rabiah, menjadi menu cerita kami sekaligus energi penguat perjuangan beliau yang kini menapak usia enam puluh lima.

Tangis doa dan titip rinduku selalu untukmu Ibu. Ibuku Sarah. Ibuku Hajar. Ibuku Asiyah. Ibuku Masyitah. Ibuku Maria. Ibuku Khadijah. Ibuku Aisyah. Ibuku Fatimah. Ibuku Rabiah. Ibuku Masyrifah. Ummi Nuriyati. Robbanaghfirlanaa waliwaa lidayya warhamnaa kamaa robbayaanii shaghiiraa..