Di antara sekian
ribu santri, dia menyendiri. Tertarik, saya mendekat. Pakai jurus sok
akrab, saya dapat jawaban. Kenapa dia murung. Dia tidak kerasan. Dulu
dipaksa mondok orangtua. Maunya ya sekolah di rumahnya. Di kota Surabaya
sana. Bisa lebih bebas katanya.

Berkunjung ke sebuah pesantren besar di Jatim. Asik mendengar celoteh dan curhat para santri junior. Bagaimana mereka memenej persoalan dan perasaan. Rata rata ceria. Kerasan. Menikmati kehidupan sebagai santri. Namun ada satu orang yang berbeda. Raut mukanya.

Saya tersenyum sendiri.
Tergelitik oleh pelajaran baru. Mungkin bagi si santri itu, persoalan
terbesar di muka bumi adalah perasaan tidak kerasan. Problem terpenting
yang perlu dipecahkan adalah bagaimana bisa pulang dan sekolah di
Surabaya.

Baginya, polemik perpindahan ibukota itu remeh.
Samasekali tidak masuk list prioritas. Ngga penting. Masih kalah rumit
dibanding kerinduannya pada rumah. Debat pro dan kontra di media itu,
masih kalah sengit dengan debat hebat di hatinya: pulang atau bertahan.

Sepanjang perjalanan pulang, spanduk poster politikus desa bertebaran.
Lagi musim pilkades. Serentak di puluhan desa di Lamongan. Sempat
berbincang dengan salah seorang dari mereka. Malam sebelum esoknya
coblosan, wajah mereka rata rata tegang. Galau. Tingkat dewa.

Bagi mereka, tensi pilkades mengalahkan ketegangan antara Amerika dan
China. Yang sedang perang dagang itu. Atau coba ajak mereka memikirkan
penderitaan rakyat Suriah. Bisa disemprot sampean. Di pikiran mereka,
semua itu ngga penting. Urusan terbesar adalah coblosan esok pagi.

Dapat kiriman video. Hasil tangkapan CCTV. Tentang sepasang kekasih.
Alur asmara berujung buntu. Lalu memilih jalan Romeo Juliet, Sampek
Engtay, Anthony Cleopatra. Mengakhiri hidupnya. Berdua. Jalan terburuk
itu jadi jalan terbaik di mata mereka.

Buat mereka, beratnya
masalah yang dihadapi tak mungkin diselesaikan. Di dunia ini. Harus di
sana. Jika perlu di neraka. Na’udzubillah. Bagi pasangan itu, masalah
mereka terlalu berat untuk ditanggung. Tidak ada yang care. Semua acuh.
Dunia gelap.

Begitulah kita. Masing masing merasa masalah yang
dihadapi adalah masalah paling berat. Dibanding siapapun. Di planet ini.
Harusnya semua orang membantu dia. Memperhatikan masalahnya. Sebab
masalah di luar dirinya tampak ngga penting.

Siapapun yang tidak
membantunya, dianggap jahat. Dunia alam semesta ini berpusat pada
dirinya. Egosentris. Kita sibuk dan fokus pada masalah masing masing.
Kita digiring pada penyimpangan. Dari jati diri asli manusia. Yang
membedakan kita dengan makhluk lain.

Fitrah azali kita adalah
makhluk sosial. Yang senantiasa berbagi dan saling terkait. viagra cp Tentang
solusi maupun persoalan. Dalam hal kenikmatan juga penderitaan. Struktur
sosial manusia sejak purba. Dibangun berdasarkan konsensus saling
membantu. Itu pakta integritas yang genuine.

Semakin hari, konsep
ini makin memudar. Relasi manusia bergeser pada hitungan untung rugi.
“Kalau aku membantu dia dapat apa”. “Dia tidak membantuku, kenapa aku
harus membantu dia”. “Biarin, bukan urusan kita”. “Urus dirimu
sendiri”.

Kita dihadapkan pada fakta paradoksal. Korban
kecelakaan menggelepar di jalan. Banyak yang mati sia sia. Faktor
keterlambatan penanganan. Orang lalu lalang hanya sekilas memandang.
Paling bergumam, masyaAllah. Kemudian berlalu. Alih alih menolong,
berhentipun tidak.

Saya pernah mengalaminya. Tabrakan tepat di
depan saya. Luka parah. Sekarat. Dasarnya saya ngilu lihat darah. Tapi
orang tak banyak yang tergerak. Hanya satu dua orang saja. Terpaksa saya
membantu. Mengangkat tubuh itu. Untuk mendapat pertolongan lebih
lanjut.

Level saya masih “terpaksa”. Yang kita perlukan lebih
dari itu. Kesadaran tanpa paksaan. Bahwa kita manusia. Membantu itu
keniscayaan. Sebab pada akhirnya kita nanti juga butuh bantuan. Semua
harus berpikir, andai yang tergeletak di jalan itu aku. Atau keluargaku.
Empati ini yang mesti terinstall.

Penderitaan ribuan orang di
Riau dan Kalimantan. Akibat kebakaran hutan. Terpapar asap beracun.
Terjangkit ISPA sampai meninggal. Tanyakan pada mereka yang sedang
berebut kursi kekuasaan. Apalagi bagi yang sedang memperluas lahan
perusahaan perkebunan. Mendesakkah bencana itu? Tidak.

Menjenguk
teman di sebuah bilik di RS. Terbaring lemah. Ginjalnya sudah rusak.
Cuci darah tiap minggu. Menjalar. Paru parunya ikut bocor. Saya
bayangkan, kalau hal ini diceritakan pada seorang pemuda yang sedang
putus atau ditolak cintanya. Masih adakah sisa ruang di hatinya untuk
empati pada teman itu?

Waspadalah dulur. Narasi kemanusiaan
hilang manakala tidak pernah ada ruang di hati kita untuk kesusahan
orang lain. Bangunan fitrah kita sedang digerogoti korosi
individualisme. Sebab kemuliaan seseorang ditentukan oleh kesediaannya
berbagi.

Alkisah dalam sebuah peperangan. Terdengar rintihan di
antara tubuh tubuh yang berguguran. “Air..air”. Luka parah. Darah
mengalir. Dehidrasi. Seseorang bergegas pergi lalu kembali dengan
seteguk air. Hanya cukup untuk satu orang. Baru akan diminumkan,
terdengar rintihan di sisi lain. “Air.. air”.

Prajurit yang yang
sedang terluka itupun mendengar. Reaksinya tak terduga. “Berikan itu
untuk yang merintih di sana itu”, ujarnya merelakan air itu untuk
temannya. Meski bingung orang itu segera menuju asal rintihan. Dia
temukan prajurit lain yang juga terluka parah.

Saat hendak
diminum, lagi lagi suara jerit kesakitan terdengar. Di ujung lainnya.
Prajurit kedua inipun sama. Jiwa korsanya dominan. Mengikhlaskan air itu
untuk teman seperjuangannya. Mendahulukan orang lain. Si pengantar air
berlari menuju asal rintihan ketiga.

Sesampai di tempat, ternyata
prajurit ketiga itu sudah meninggal. Segera air itu dibawanya menuju
prajurit pertama. Juga sudah gugur. Harapan terakhir ke prajurit kedua.
Di sana, didapatinya sudah wafat pula. Mereka bertiga syahid tidak saja
dalam kredo keimanan tapi juga dalam ordo kemanusiaan.

Nabi
bersabda, laa yakhtakiruu illa khoothi’uun. Tidak akan mementingkan
pribadi kecuali para penjahat. Laa yu’minuu ahadukum hatta yuhibba li
akhihi maa yuhibbu linafsihi. Tidak beriman kalian sampai mencintai diri
lain seperti mencintai diri sendiri.

Keimanan itu berkelindan
kongruen dengan kemanusiaan. Tidak mungkin kita beriman jika kita belum
jadi manusia. Apapun agamamu. Substansi keimanan itu ketauhidan. Namun
aktualisasi ketauhidan ada dalam kemanusiaan. Untuk apa hafal kitab suci
jika hidup tak peduli.

Di Bali, saat saya menulis ini, ada
sedikit kegaduhan di luar. Saya tengok. Seorang anak asuh menangis minta
pulang. Baru saja dititipkan ibunya. Yang sedang kesulitan segalanya.
Dicerai suami. Sempat bekerja tapi dipecat. Sebab anaknya yang besar
mencuri. Hape bosnya.

Tak mungkin kami antar pulang. Malam malam
begitu. Lagipula ibunya tak punya hape. Baru saja dijual. Untuk beli
makan beberapa hari nganggur. Bersama pengasuh, kami tenangkan.
Bersyukur mau kembali ke asrama. Esoknya berangkat sekolah sudah ceria
lagi.

Dulur, jika kita sibuk hanya dengan urusan kita, maka dunia
akan terasa sempit. Namun cobalah menyediakan satu atau dua bilik saja
di hatimu. Untuk menampung masalah dan penderitaan sesamamu. Insya Allah
hidupmu akan lapang. Selapang doa orang yang kau bantu.

Salam kasih sesama. Bismillah

Sumber : https://www.facebook.com/glory.muchtar/posts/10156734802089370

Related posts

Leave a Comment